Watu Gagak, Destinasi Baru dari Kekompakan Warga Bantul

Perjalanan Wisata Alam Watu Gagak: Dari Bukit Tandus ke Destinasi yang Ramai

Di kawasan Kalurahan Wukirsari, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, terdapat sebuah bukit yang dulu hanya dianggap sebagai tanah tandus. Namun, melalui semangat kebersamaan dan inisiatif warga, tempat ini kini berubah menjadi destinasi wisata yang menarik perhatian banyak orang.

Langit Imogiri berwarna jingga saat matahari terbenam. Dari puncak Watu Gagak, pengunjung dapat melihat pemandangan Kota Yogyakarta dan Bantul di kejauhan. Di sanalah warga Wukirsari mulai menanam mimpi mereka — menjadikan tanah tandus sebagai sumber kehidupan dan keindahan bagi sesamanya.

Watu Gagak dulunya hanyalah bukit gersang. Dari perbincangan santai di gardu ronda, warga mulai membayangkan tempat itu bisa menjadi ruang wisata. “Awalnya Watu Gagak itu bukit tandus,” kenang Susilo Hapsoro, Lurah Wukirsari. “Dari obrolan di gardu, pemetaan wilayah, dan semangat warga, kami sepakat mengembangkannya menjadi tempat wisata. Pemandangannya bagus sekali — dari sana kita bisa melihat Bantul, Gunungkidul, dan Imogiri.”

Ide sederhana itu pelan-pelan menjadi gerakan bersama. Warga membersihkan batuan besar, membuat jalan setapak, dan membuka area pandang. Semua dilakukan secara swadaya. “Sebelum ada wisata, warga tiap malam tahun baru sering datang ke sini untuk melihat kembang api dari kota Yogyakarta dan Bantul,” kata Junaidi, Ketua Pengelola Wisata Watu Gagak. “Lama-lama pengunjung makin banyak. Dari situ muncul gagasan untuk menjadikan bukit ini tempat wisata. Kami kerja bakti, bersih-bersih, menata sedikit demi sedikit. Awalnya hanya batu-batu besar dan rumput liar.”

Semangat gotong royong warga kemudian menarik perhatian pemerintah desa dan kabupaten. Dukungan mulai datang, dari tingkat kalurahan hingga provinsi. Pada 2018 dan 2019, pengelolaan masih sepenuhnya swadaya, hingga pandemi membuat aktivitas terhenti. “Tahun 2021 dan 2022 kami mendapat dukungan dari Dinas Pariwisata DIY,” ujar Susilo. “Dibuatkan DED (Detail Engineering Design) dan dilanjutkan pembangunan infrastruktur dasar. Pemerintah kabupaten membangun jalan aspal, lampu penerangan, hingga sarana air dan listrik.”

Wujud perhatian juga datang melalui Dana Keistimewaan (Danais). Program itu memungkinkan kolaborasi antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam memperkuat potensi wisata lokal. Hasilnya terlihat nyata: tangga menuju puncak, panggung hiburan, hingga gazebo yang kini jadi tempat berkumpul pengunjung. “Berkat kemurahan hati Ngarsa Dalem dan dukungan Dana Keistimewaan, dana turun untuk membangun tangga, panggung hiburan, dan sarana lain,” ujar Junaidi. “Sekarang pengunjung bisa menikmati keindahan matahari terbenam dengan nyaman.”

Ekonomi Warga Ikut Tumbuh

Kawasan Watu Gagak kini menjadi sumber penghidupan baru bagi warga sekitar. Sedikitnya 15 warung berdiri di sekitar area wisata, seluruhnya dikelola masyarakat dusun setempat. “Kami ingin wisatawan yang datang tak hanya menikmati pemandangan, tapi juga mencicipi hasil tangan warga,” kata Nur Ahmadi, Ketua Desa Wisata Wukirsari. “Ada angkringan, nasi bungkus, bubur sore, wedang ronde, hingga gorengan. Semua harga terjangkau. Kami juga punya produk khas, seperti wedang uwuh, lilin aromaterapi dari serai merah, dan teh gurah. Semua buatan lokal.”

Lebih dari 50 kepala keluarga kini terlibat dalam pengelolaan Watu Gagak, baik sebagai pengelola parkir, penjaga malam, maupun pedagang. “Yang parkir saja ada lebih dari 30 warga. Belum lagi penjaga, pedagang, dan pemuda karang taruna,” ujar Susilo. “Artinya, wisata ini bukan hanya tempat hiburan, tapi juga sumber ekonomi bagi masyarakat.”

Selain wisata alam, Watu Gagak juga menjadi ruang bagi kegiatan budaya. Event tahunan Pinarak Wukirsari menjadi ajang promosi potensi wisata dan produk lokal desa. “Pinarak Wukirsari ini sudah tiga kali kami adakan,” ujar Lurah Susilo. “Awalnya didukung Dinas Pariwisata lewat Dana Keistimewaan. Kami undang pelaku tour travel, youtuber, sampai komunitas kreatif. Malamnya ada live music dan makan malam di Watu Gagak.” Selain acara budaya, pengelola juga menggelar kegiatan mingguan: acoustic night, juga pentas musik akhir pekan. “Malam Sabtu dan Minggu biasanya ada musik akustik. Kalau Kamis malam, kadang ada Koes Plus-an atau musik jadul-jadul,” kata Nur Ahmadi. “Pokoknya disesuaikan dengan generasinya. Yang muda bisa ikut hiburan, yang tua bisa menikmati senja.”

Peran Pemerintah dan Kolaborasi Masyarakat

Dinas Pariwisata DIY menilai keberhasilan Wukirsari sebagai bukti kolaborasi yang efektif. Pemerintah berperan memperkuat infrastruktur, event, dan sumber daya manusia, sementara masyarakat menjadi motor utama pengelolaan. “Kami mendukung lewat tiga hal: sarana-prasarana, event, dan peningkatan SDM,” ujar Antarikso Trisno Bawono, Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Wisata Dinas Pariwisata DIY. “Sekarang fokus kami adalah hospitality: bagaimana menyambut tamu dengan baik, menjaga higienitas makanan, dan kebersihan fasilitas. Kami ingin pengunjung merasa nyaman. Ketika masyarakat sudah mandiri, kami tinggal memperkuat kapasitasnya.”

Dari sisi kebijakan keistimewaan, Paniradya Kaistimewan menegaskan bahwa pariwisata berbasis budaya menjadi bagian penting dari visi pembangunan Yogyakarta. “Dalam urusan kebudayaan, pariwisata menjadi bagian penting karena menyentuh seni, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat,” tutur Nugraha Wahyu Winarna, Kepala Bidang Urusan Kebudayaan Paniradya Kaistimewan DIY. “Kami ingin potensi kalurahan dikembangkan sesuai jati dirinya. Kalau di Wukirsari potensinya wisata alam dan budaya, dukungan Danais diarahkan untuk memperkuat itu — dari infrastruktur, kelembagaan, hingga promosi. Prinsipnya kolaborasi, bukan intervensi. Pemerintah hadir untuk memperkuat inisiatif warga.”

Kini, Wukirsari tak hanya dikenal sebagai sentra batik Giriloyo, tetapi juga lewat pesona Watu Gagak — bukit yang dulu gersang, kini ramai oleh tawa, musik, dan aroma kopi hangat. “Sekarang destinasi Watu Gagak sudah bisa jalan sendiri, bahkan mulai berlari. Kami harap Wukirsari menjadi desa mandiri budaya yang membawa manfaat ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakatnya.” Watu Gagak menjadi bukti bahwa keistimewaan Yogyakarta bukan hanya soal warisan masa lalu, melainkan juga tentang semangat hari ini: membangun dari bawah, dengan gotong royong dan cinta terhadap tanah sendiri.

Post a Comment Blogger

 
Top